
Seperti biasa, jam setengah tujuh pagi, Sebuah taksi telah menunggu didepan rumahku. Aku memang senang menyebutnya rumahku, walaupun itu bukan rumahku. Aku hanya menyewanya dari seorang teman, Tepatnya orang tua temanku. Tapi aku merasakan kedamaian di dalam rumah itu.
Setahun yang lalu, teman kantorku pindah ke luar kota. Dia mendapatkan pekerjaan baru di kota tersebut. Jakarta, Itulah kota yang menantinya untuk berkarya. Mau tidak mau, Dia harus mengosongkan rumah yang selama ini ia tinggali.
Akhirnya, Aku ditawari untuk tinggal di rumah itu dengan harga sewa ‘ala teman’. Aku langsung setuju, Karena aku sudah bosan tinggal di kost-kostan, sudah muak dengan yang namanya pindah-pindah kost. Hah! salah satu hal yang sangat merepotkan, mindahin barang-barang, kemudian menata ulang barang-barang itu. Duh, Nginget-inget aja udah jadi capek.
Baiklah, sekarang saatnya untuk memperkenalkan diri. Nama ku Tama. Sebenarnya nama lengkapku Putra Prasetya Utama. Dari kecil, keluarga, tetangga dan teman-teman memanggilku Putra. Tapi setelah SMA, aku di panggil Tama, karena waktu itu ada empat orang dengan nama depan Putra di kelasku. Dan kami berempat sama sekali tidak setuju kalau di panggil Putra A, Putra B, Putra C dan Putra D. Emang lomba cerdas cermat????????? Akhirnya, teman-teman memanggilku Tama. Nice, Jarang-jarang nama belakang dijadiin nama panggilan. Dan tiga orang Putra yang lainnya juga di panggil dengan nama panggilan selain Putra. Adilkan jadinya?
Drtttt drtttt…. Hancur hancur hancur hatiku hatiku hancur
Suara Olga Syahputra muncul dari hapeku, pertanda ada sms masuk. Aku tidak segera membuka sms itu. Aku baru saja mengunci pintu depan, lalu berjalan menuju taksi, taksi hitam dengan tulisan enam digit angka di samping kiri dan kanannya.
“Selamat pagi Pak.” Sapaku kepada sopir taksi itu setelah aku duduk di jok belakang.
“Pagi Mas, mau langsung ke kantor atau mampir kemana dulu?" Tanya sopir taksi.
“Langsung kantor aja Pak.” Jawabku mantab.
Pak sholeh, sopir taksi yang hampir setahun ini selalu mengantarkan aku ke kantor. Sopir taksi yang selalu menyemangatiku dengan cerita dan nasehat-nasehatnya. Sopir taksi sekaligus tetangga bagiku. Rumahnya hanya berjarak sekitar seratus meter dari tempat tinggalku saat ini. Pak Sholeh adalah tipe kepala keluarga yang bertanggung jawab dan ulet. Aku menyimpulkan seperti ini dari hal-hal yang ia ceritakan kepadaku selama ini. Entah maksudnya ingin menumpahkan uneg-uneg atau memang ingin menasihatiku, tapi aku banyak belajar dari cerita-cerita itu.
Aku mengeluarkan hape dari tas kerjaku lalu aku pencet satu tombol, aku lihat layarnya, ingin tau siapa yang tadi mengirimkan sms. Hah! Cuma sms dari operator, pasti isinya tidak penting. Aku langsung menghapus sms itu tanpa membaca isinya. Kemudian aku langsung mengembalikan hape itu ke dalam tas.
“Bayu juara satu lagi Mas.” Kata Pak Sholeh tiba-tiba.
“Kemarin siang pembagian rapornya.” Pak Sholeh melanjutkan kalimatnya.
“Iya ya Pak?, Wah, Selamat ya Pak. Pasti bapak bangga banget kan?” Jawabku antusias.
“Pasti bangga lah Mas, sudah lima kali berturut-turut Bayu jadi juara kelas.”
Aku mendengar nada bangga dalam suara itu. Kemudian Pak Sholeh bercerita tentang Bayu, anaknya. Aku mendengarkan sambil menikmati pemandangan yang kami lewati, bukan pemandangan alam yang indah sebenarnya, hanya kendaraan-kendaraan lain yang sama-sama melaju di sekitar kami.
Drtttt drtttt…. Hancur hancur hancur hatiku hatiku hancur
Aku segera mengeluarkan hapeku. Ario. Ario???????? Aku tiba-tiba tersadar, sudah sangat lama aku tidak bertemu dengan Ario. Terakhir kali aku bertemu dengannya tiga bulan lalu. Kami bertemu di sebuah toko buku, tapi setelah itu pun kami jarang saling menelpon, sms ato chatting sekalipun.
Aku baca sms itu. ‘‘Tam, isteri ku udah melahirkan satu jam yang lalu di Bethesda, persalinannya normal. Kami di karuniai seorang putri yang sangat cantik.’’
“Pak kita ke Betesdha dulu ya bentar” Kataku kepada Pak Sholeh begitu aku selesai membaca sms itu.
“Loh, siapa yang sakit Mas?” Tanya Pak Sholeh dengan nada serius.
“Nggak ada Pak. Istri temen saya baru aja melahirkan.” Jawabku tenang.
“Oh, Baik mas.” Kata Pak Sholeh.
“Eh Mas, selamat ya!” Kata Pak Sholeh lagi.
“Selamat kenapa Pak?” Tanyaku agak heran.
“Lha itu, kan baru dapet ponakan. Trus kira-kira kapan to Mas Tama ini mau nikah. Kan udah mapan Mas, tunggu apalagi. Tar keburu kaseb lho.” Kata Pak Sholeh dengan nada bercanda.
“Halah Pak Sholeh ini, udah berapa kali nanyain gitu. Kok sering banget sih kalau ada apa-apa disambung-sambungin ke masalah kapan saya mau nikah.” Jawabku agak sewot.
“Saya ini kan ngasih nasehat Mas, nggak papa to?” Kata Pak Sholeh lagi.
“Nggak papa Pak, makasih ya.” Jawabku kemudian.
Aku melakukan panggilan dari hapeku.
Tuttttttt… tut…………….
“Halo Tam!” Suara dari seberang sana.
“El, sori aku kayaknya rada telat ngantor hari ini.” Kataku kepada Elma, teman kantorku. “Aku mau ke Bethesda dulu bentar, isteri temenku baru aja ngelahirin.” Lanjutku.
“Oke, rajin amat sih langsung mau njenguk gitu, curiga nih. Wakakakakaaka." Jawab Elma dengan nada ngeledek.
“Halah, pagi-pagi udah ngegodain orang.” Jawabku sedikit tidak terima terima dengan ketawanya itu.
“Gak papalah, gak ada yang ngelarang kok.” Elma membela diri.
“Okelah, Tengkyu ya El.” Kataku untuk mengakhiri pembicaraan.
“Oke oke.” Kata Elma sebelum menutup telepon.
Tutttt….. tut….. tuttt….. tutt…… tutt….. tut……. Tuttt….
Tutttt….. tut….. tuttt….. tutt…… tutt….. tut……. Tuttt….
Nomor yang anda tuju sedang sibuk.
Klik.
Tutttt….. tut….. tuttt….. tutt…… tutt….. tut……. Tuttt….
Tutttt….. tut….. tuttt….. tutt…… tutt….. tut……. Tuttt….
Kok gak diangkat2 sih, gerutuku dalam hati.
Tut…..
“Halo TamTam.” Suara Ario akhirnya terdengar.
“Lama amat sih ngangkatnya.” Protesku.
“Jiah, Pagi-pagi udah ngambek, tar nggak imut lagi lho.” Jawab Ario.
“Suka-Suka lah. Eh, aku ke situ sekarang ya?” Kataku masih dengan nada agak gak terima.
“Ngapain?” Ada yang mau ngelahirin juga?” Jawabnya masih dengan bercanda.
“Nggak ada lah, mau kesitu aja pokoknya. Kataku tambah sewot.
“Oke, oke. Nggak usah sewot. Hahahahahahaha .” Jawabnya sambil ketawa.
“Eh, bangsalnya disebelah mana?” Tanyaku.
“Duh, sebelah mana ya? Tar aku tunggu kamu di pintu masuk aja ya! Aku nggak paham juga gimana njelasinnya.” Kali ini dia serius.
“Ih geblek! Awas kalo ntar di bawa nyasar.” Gantian aku yang ngeledek.
“Halah, malah seneng kan kalo nyasar lama-lama.” Eh, Ario balas ngeledek.
“Maksudnya…? Udah ya sepuluh menit lagi aku nyampe.” Kataku.
“Oke, sekalian beliin popok dunkz!” Jawabnya dengan masih bercanda.
“Ni udah aku bawain kereta bayi malahan. Udah ya, tengkyu.” Lalu aku tutup teleponnya.
“Pak, Pak Sholeh mau ikut masuk apa mau nunggu di luar ntar?” Tanyaku pada Pak Sholeh.
“Nunggu di luar aja Mas, saya nggak kenal juga kan?” Jawab Pak Sholeh.
“Ya udah, ntar tasnya saya tinggal aja ya Pak, males nentengnya.” Kataku.
“Tinggal aja mas, tapi jangan lupa hapenya di bawa.” Pak Sholeh mengingatkan.
“Iya, maksih Pak.” Jawabku.
Tidak lama kemudian, kami udah sampai di Bethesda. Begitu keluar dari taksi aku langsung nelpon Ario
Tutt…………
“TamTam udah nyampe?” Kali ini langsung di angkat.
“Udah di pintu masuk.” Jawabku.
“iya, aku dah liat kamu kok.” Tutttt… Langsung di matiin.
“TamTam….. ih, pipinya makin cabi ajah.” Tiba-tiba Ario muncul di depanku.
“Malah ngomongin pipi.” Jawabku tersinggung.
Lalu kami berjalan beriringan, aku ikut aja kemana dia belok. Aku nggak pernah ngeh sama lorong-lorong Rumah Sakit manapun.
“Sejak kapan istrimu di bawa ke sini? Tanyaku memecah kebisuan.
“Semalam jam sepuluh” Jawaban yang singkat. Dan kami kembali terdiam.
“Nih dah nyampe.” Kata Ario ketika kami sampai didepan sebuah pintu. Ruang Lily 109.
“Terus sekarang aku mesti ngapain?” Tanyaku.
“Lha kamu kesini niatnya mau ngapain? Ya masuklah, itu ada mertua ku juga.” Kata Ario sambil menarik lenganku.
“Udah nggak ada darah kan?” Tanyaku kuatir.
“Kalaupun ada terus kamu semaput, ntar aku gendong sampe kantormu deh.” Ario kembali bercanda.
Akhirnya kami masuk. Ario yang masuk duluan. Aku mengikuti dibelakangnya. Setelah sampai di dalam, aku melihat Lia, isteri Ario, sedang berbaring. Disampingnya ada bayi mungil yang sangat lucu, menurutku.
Lia tersenyum kepadaku.
“Selamat ya Lia.” Kataku agak parau.
“Makasih Tam.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Cantik sekali puteri kalian, seperti Ibunya.” Kataku berusaha menguasai keadaan.
“Jadi bapaknya gak di anggap?” protes Ario. Tapi aku pura-pura tidak mendengarnya. Aku hanya tersennyum kepada Lia.
“Selamat pagi Ibu.” Ucapku kepada mertua Ario yang duduk di dekat ranjang Lia.
‘Pagi Mas, ini nyempetin ke sini ntar nggak di marahin bos kalo telat?” Kata ibu itu.
“Saya udah ijin tadi.” Aku menjelaskan. “Selamat juga ya Bu, di karuniai cucu yang cantik.” Kataku kemudian.
“Makasih Mas, ini cucu pertama saya, karena memang Lia anak saya satu-satunya.” Jawab si Ibu.
Kemudian tanpa diminta, Ibu itu justru menceritakan masa-masa kecil Lia. Hal-hal yang lucu dan kadang sedikit menjengkelkan semua iceritakan. Lia pun tidak keberatan dengan hal itu. Dia ikut tersenyum dan sesekali protes atau membela diri. Yah, Mereka semua memang sedang berbahagia.
Tak terasa sudah lebih dari setengah jam aku di situ.
“Ibu, Lia aku pamit, ke kantor dulu ya.” Aku berpamitan.
“Oke gak papa Tam, makasih ya.” Kata Lia.
“Makasih ya Mas, udah nyempetin kesini.” Kata mertua Ario.
“Sama-sama.” Jawabku.
Aku keluar ruangan di ikuti oleh Ario
Tanpa aku minta, Ario mengiringiku kembali sampai pintu masuk Rumah Sakit. Kami sama-sama terdiam ketika berjalan.
“Iyo, duluan ya!” Pamitku.
“Tammy…..” Nama itu terucap dari bibir Ario.
Aku terperangah.
“Eh, TamTam…. Kok aku belom di kasih ucapan selamat?” Lanjutnya sedikit tergagap.
“Heh? Belom ya??????’ Tanyaku.
“Belom, geblek!!!!’ Jawabnya mulai sewot.
“Ya udah kapan-kapan aja ngucapinnya.” Kataku.
“Kok kamu gitu? Kok kamu sekarang gitu? Padahal kamu dulu selalu jadi orang pertama yang ngasih ucapan selamat buat aku.” Katanya dengan nada memelas.
“Ih ke Ge-eR an” Candaku.
“Gak papa, emang kenyataan.” Jawabnya mantab. “Aku balik ya” Lanjutnya
Dia segera berjalan meninggalkanku
“Iyo……” aku memanggil Ario dengan suara lumayan keras.
Ario menoleh dan tersenyum
“Selamat ya…” Aku kembali berucap dengan keras. Tapi aku tidak tau darimana aku memperoleh kekuatan untuk mengatakan hal itu. Sebuah ucapan yang sebenarnya ingin aku sampaikan ketika aku membaca sms Ario. Tapi ada sesuatu yang sesak di dalam dadaku.
Ario mengangguk dan membalikkan badan, kemudian kembali berjalan meninggalkanku. Aku memandangi punggungnya hingga dia berbelok dan tak terlihat lagi.
Tuttttt….
“Halo Mas, udah?” Pak Sholeh langsung menjawab telponku.
“Udah Pak, saya tunggu di depan pintu masuk.” Kataku.
“Baik Mas .”
Klik.
***
“Mas, jaketnya di pangku aja ya atau di pake sekalian, biar saya bisa duduk.”
Aku tidak memperdulikannya.
“Atau saya duduki gak apa-apa?”
Sekarang suara itu membuyarkan konsentrasiku. Aku sedang asik membaca ‘The Golden Compass’,
Aku sedang berimajinasi hidup bersama Lyra dan kawan-kawannya, Aku begitu serius menyimak cerita dalam buku itu, dan tiba-tiba ada suara cecunguk yang menggangguku.
“Oh”
Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Aku kemudian mengambil jaket itu’ Lalu aku taruh di angkuanku.
“Serius amat mbacanya, tar kalo ada bom meledak gak sempet lari nyelametin diri loh”
Kampret! Kembali suara itu menggangguku.
“Hmmmm… lagi tanggung Mas.” Jawabku singkat.
“Kenapa nggak beli bukunya aja sekalian sih?” Masih aja orang ini ngemeng.
“Yah, tanggung banget, ini aja udah hampir selesei bacanya.” Aku masih juga mau menjawab.
“Hoho…. Kayak anak-anak kebanyakan, ke toko buku cuman buat numpang baca.” Dia mulai meledek.
“Yang penting aku gak pernah ngebuka segel, yang udah gak ada segelnya yang aku baca.” Aku membela diri.
“Okey, nama kamu Tama kan?” Dia bertanya.
Aku diam….
Aku menoleh…..
Dan aku melihat wajah itu. Sepertinya aku kenal, tapi aku lupa kapan dan dimana pernah mengenalnya.
“Kenapa?” Dia bertanya sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa.” Jawabku singkat.
Aku kembali mengalihkan pandanganku ke buku yang sedang aku baca. Aku berusaha menemukan kembali moment serius dan imajinatif yang tadi aku rasakan. Aku mengulang beberapa paragraph yang tadi telah aku baca.”
“Gitu aja?” Dia kembali bersuara.
“Gitu aja gimana? Gitu aja kenapa?” Aku gantian bertanya.
“Kok nggak penasaran?” Suaranya menandakan kalau dia bingung.
“Penasaran masalah apa?” Aku juga ikut bingung.
“Yah…. Ni anak.” Dia mulai putus asa.
Aku kembali menoleh
“Ada yang salah?” Aku masih bingung.
Sekarang dia malah tersenyum. Aku jadi tambah bingung.
“Kenapa malah senyum gitu?” Aku menyelidik.
“Kamu sih aneh.” Dia terus saja tersenyum.
“Aneh?” Aku mengernyitkan dahi.
“Iya aneh.” Katanya.
Dia kemudian memalingkan mukanya ke arah lain.
“Kamu ini aneh, kenapa kamu tidak curiga atau penasaran, darimana coba aku bisa tau namamu?”
Dia berdiri dan melangkah meninggalkanku. Kali ini tiba-tiba aku jadi penasaran. Aku segera berdiri, Lalu Aku taruh buku yang tadinya ku baca di rak yang terdekat dengan posisku saat itu. Aku berjalan mengejarnya. Setelah aku sampai di sampingnya, dia malah berhenti. Lalu dia tersenyum.
“Kenapa ngejar-ngejar?” Dia kelihatan puas karena berhasil membuatku penasaran.
“Aku minta kamu jawab dengan jujur, kenapa bisa tau namaku?” Kataku tegas.
Dia hanya tersenyum kemudian kembali berjalan. Dia tetap tidak menjawab pertanyaanku. Aku mengikutinya dari belakang.
Ketika kami sudah sampai di luar toko buku barulah dia berkata-kata.
“Kenapa kamu sekarang jadi penasaran?”
“Loh, kamu kan yang pengen aku jadi penasaran kayak gini?” Bantahku.
“Oke. Aku mau pulang.” Jawabnya.
Lalu dia melambaikan tangan kirinya. Tak lama kemudian, sebuah taksi merah keunguan berhenti di dekat kami. Dia membuka pintu belakang taksi itu, dan tak menoleh kepadaku. Tanpa sadar aku menahan pintu itu ketika dia akan menutupnya.
“Geser dunkz!” Perintahku.
Dia menggeser posisi duduknya kemudian aku ikut masuk dalam taksi itu.
“Concat ya pak, jalan nusa indah.” Katanya kepada sopir taksi itu.
“Samping Amikom itu ya Mas?” Sopir taksi itu memastikan.
“Iya Pak.” Dia menjawab singkat.
Sepi. Tak satupun bersuara. Taksi itu menyusuri jalanan yang ramai. Akhirnya aku putuskan untuk membuka suara.
“Hey, kok bisa tau namaku Mas?” Aku kembali menyelidik.
“Mas! Mas! Sejak kapan aku jadi Masmu?” Jawabnya angkuh.
“Baik Ki Sanak, dari mana Ki Sanak tau nama saya?” Jawabku dengan nada jengkel.
Dia malah tertawa. Aku makin jengkel.
“Kamu beneran pengen tau?” Dia memandangku sambil menahan tawa.
“Iya” Jawabku pelan. Aku mulai merasa bodoh.
“Nih, lihat! T A M A.” Dia menunjuk jaket ku.
Duerrrrrrrrrrrrrrrrrrr…….
Sumpah aku jadi malu. Di jaket itu memang tertulis namaku, tertulis dengan jelas di bagian lengan sebelah kiri. Maklum, ini kan jaket kelas.
“Pak berhenti bentar, saya turun sini aja.” Perintahku pada sopir taksi itu. Taksi pun berhenti lalu aku keluar. Aku malu karena berhasil dikerjai oleh orang tak di kenal.
*
Aku menyerahkan kotak kayu tipis bertuliskan angka 55 itu. Akhirnya aku harus kembali ke toko buku. Aku benar-benar lupa kalo aku membawa tas dan aku titipkan di petugas penitipan barang. Isinya memang cuman alat tulis, tidak ada barang berharga di dalam tas itu. Yang paling berharga ya cuman tasnya, Maklum, masih baru.
Dari toko buku, aku naik bis, langsung menuju tempat Les, Les matematika. Pelajaran yang tidak aku sukai. Aku baru sekali mengikuti Les ini, yaitu pada pertemuan pertama dan sekarang ini pertemuan kedua, untukku. Tapi bagi anak-anak lain yang rajin berangkat, Ini akan jadi pertemuan kelima.
Rupanya pun aku sudah telat. Ketika aku sampai, pintu ruangan udah di tutup. Eh, Hebat juga ya aku masih inget yang mana ruangannya. Aku mengetuk pintu beberapa kali, lalu aku membuka pintu. Akumasuk ke ruangan itu. Aku langsung menuju kursi dan meja kosong yang terdekat. Aku memandang kedepan, Apalah itu, Deretan angka yang sungguh matematika banget berceceran di white board, Dan seorang pengajar tengah menuliskan angka-angka itu.
Beberapa detik kemudian orang itu membalikkan badan. Taraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……..Orang ini?????????????? Orang yang tadi itu!!!!!!!!!! Pantes perasaan pernah liat. Dia yang ngajar di Les ini???????
Kami sempat beradu mata selama sepersekian detik sebelum aku sempat untuk membuang pandangan ke arah lain. Aku sempat menangkap senyumnya, senyum yang manis. Entah kenapa aku menilai senyum itu begitu manis, Padahal aku sangat kesal dengan orang ini. aku sempat berpikir untuk keluar dari ruangan itu secepatnya, tidak usah ikut Les ini. Tapi sepertinya hal itu justru terkesan sangat bodoh. Terutama bagi dia, si pengajar sialan itu.
Satu setengah jam berlalu. Aku berusaha mengikuti Les itu dengan sepenuh jiwa dan pikiranku, pura-pura tidak terjadi apa-apa sebelumnya, dan aku berhasil. Bukan berhasil jadi pinter, tapi berhasil jadi puyennnnnnnnggggggg.
Pukul 17.30, akhirnya Les ini selesai. Aku sedang memasukkan alat-alat tulis ke dalam tasku, dan orang itu mendekatiku.
“Kamu di minta menemui penyelenggara setelah ini. Bentar aja kok, paling gak sampe setengah jam.” Katanya.
Aku diam tidak menjawab sepatah kata pun.
“Oh iya, aku minta maaf untuk yang tadi siang itu.” Sekarang malah dia duduk di depanku. Aku masih diam dan berusaha tidak memandang wajahnya. Setelah semua beres, dan yakin tidak ada yang tertinggal, aku berdiri dan keluar dari ruangan itu. Aku tidak memperduliakan orang itu. Aku menuju ruang penyelenggara. Di sana seorang ibu telah menungguku.
“Kenapa sering tidak masuk Les Dik?” Tanya Ibu itu setelah aku duduk. “Kan sayang dah bayar mahal-mahal kalo nggak pernah masuk.” Lanjutnya
“Nggak apa-apa Bu. Sebenernya saya ikut Les ini karena di suruh temen-temen saya Bu. Biar bisa lolos SPMB kalo lewat jalur IPC.” Jelasku. “Lagian SPMB juga masih lama Bu, Ujian Nasional aja masih tiga bulan lagi, dan nggak ada Matematika pula.” Aku bicara blak-blakan.
“Jadi kamu nggak punya motivasi pribadi?” Tanya Ibu itu lagi.
“Enggak Bu. Mungkin kedepannya saya nggak akan pernah berangkat lagi.” Jawab u yakin.
“Loh, kenapa? Sayang lho, masih ada empat sesi pertemuan dan satu sesi Try out.” Ibu itu mencoba menasihatiku, atau promosi ya itu. Entahlah.
“Nggak Bu. Saya gak mau memaksakan diri.” Jawabku dengan bersungguh-sunguh.
“Baik kalo itu keputusan Adik, tapi sesuai ketentuan yang ada, semua biaya tidak boleh di tarik lagi dengan alasan apapun.” Ibu itu menjelaskan.
“Saya tau Bu, nggak apa-apa.” Jawabku.
“Ya sudah, sekarang Adik boleh pulang, tapi Ibu sangat berharap, Adik mau mengikuti Les ini lagi.” Ibu itu menjabat tanganku. Aku hanya tersenyum lalu aku meninggalkan ruangan itu.
“Selamat Sore eh, selamat petang Bu.”
Aku meninggalkan ruangan itu dan berjalan ke arah pintu depan.
“Hey Tammy.” Suara itu tiba-tiba terdengar. Aku menoleh ke arah datangnya suara itu.
“Kamu pulang naik apa?” Orang itu bertanya.
“Naik bis.” Jawabku ketus.
“Bareng aku aja, ini aku bawa helm dua kok.” Dia mencoba menawarkan jasa. Bukan jasa sih, bantuan tepatnya.
“Lagian kamu belom menjawab permintaan maafku tadi, anggap aja ini permohonan maaf ku yang kedua.” Kata orang itu.
“Bukannya kamu tinggal di Concat, kostku di Kota Gede, gak nyambung lah kalo mau nebengin aku.” akhirnya aku menjawab, mencoba menyusutkan niatnya.
“Kan aku sudah bilang, ini sebagai permohonan maaf ku. Bahkan kalo rumahmu Magelang pun aku anter. Dia berkata sambil menyerahkan helm kepadaku. Aku terima saja helm itu dan segera aku pakai.
“Masih bawa jaket yang tadi? Kamu pake aja ya, di jalan dingin soalnya.” Dia coba menasihati. Dan memang saat itu hawanya cukup dingin, ditambah sedang gerimis pula. Pasti nanti di jalanan akan tambah dingin karena dihajar angin. Aku keluarkan jaket itu dari tas, lalu aku pakai dengan harapan dapat menepis hawa dingin itu.
**
Drrrtttttt drtttttttt
Hape ku bergetar. Aku sedang menyetrika seragam putih-putih, seragam khusus hari Senin. Aku liatin aja layarnya. 0811sekiansekiansekiansekian. Nomor yang nggak aku kenal. Aku cuekin aja. Dengan tanpa beban aku melanjutkan menyetrika baju. Setelah selesai , aku kemudian mandi.
Aku meraih hape ku yang tergeletak di dekat tumpukan baju yang sudah aku setrika. Ternyata ada enam Missed Call dari nomor tak dikenal itu. Dan ada satu sms. Aku buka sms itu, juga dari nomor yang sama.
Tam, kok tadi nggak berangkat Les? Kamu masih marah ya? –Ario-
Aku bingung, siapa Ario? Darimana dia dapet nomerku? Kok tau kalo hari ini aku gak berangkat Les?
Muuph ini syapa ya?
Aku membalas sms itu
Drtttt drtttt drttttttttt
Halo, Selamat Malam.” Aku angkat telepon itu.
“Lama banget sih tadi gak diangkat-angkat?” Suara yang di seberang langsung sewot.
“Maaf ini siapa ya Mas?” Aku bingung.
“Kamu ke mana sih kok gak berangkat Les, aku tadi nyamperin ke kost kamu, mau aku ajakin bareng berangkatnya, tapi kamu gak ada! Aku tadi nungguin kamu di kost satu jam lebih, rencananya aku mau ngajakin kamu ke toko buku dulu sebelum berangkat Les. Tapi aku tunggu-tunggu kamu nggak muncul-muncul juga. Hampir aja aku telat nyampe tempat Les gara-gara nungguin kamu. Sebelum ke kost mu aku juga udah mampir ke toko buku yang kemarin, berharap kamu ada disana, tapi kamu nggak ada juga.” Dia ngemeng panjang lebar.
“Maaf Mas, kayaknya salah sambung deh.” Aku berusaha tenang, gak ikutan sewot. Walaupun sebenarnya aku juga jengkel.
“Nggak mungkin lah, aku dapet nomer kamu dari database penyelenggara” Jawabnya.
“Maksudnya Mas?” Aku bingung.
“Aku Ario. Ario, yang ngajar Les Matematika, yang ketemu di toko buku minggu lalu. Yang nganterin kamu pulang setelah Les.” Dia menjelaskan.
“oh, Perasaan kemaren belom pernah nyebutin nama deh.” Aku mulai paham dengan siapa aku bicara.
“Belum ya? Tapi harusnya kamu kan kenal aku, aku kan yang ngajar di Les Matematika kamu.” Dia malah merajuk.
“Baik, maafkan saya, tapi saya udah nggak les lagi. Kamu nggak bisa maksa saya!” Aku berusaha membela diri.
“Maksudmu? kamu nggak akan berangkat les lagi?” Dia bertanya.
“Iya. Mas udah ya, besok saya ada ulangan Sosiologi. Saya mau ngelanjutin belajar.”
Alasanku untuk mengakhiri pembicaraan. Berhasil.
***
“Mas, udah nyampe kantor, kok masih diem aja. Ini kan udah telat banget mas.” Suara Pak Sholeh menyadarkanku dari lamunan itu.
“What? Udah nyampe to Pak ?” Aku gelagapan. Aku menyerahkan uang kepada Pak Sholeh, lalu keluar.
“Makasih Pak, hati-hati dijalan.” Kataku pada Pak Sholeh sebelum menutup pintu belakang. Pak Sholeh membalas dengan senyum dan anggukan pelan.
Setelah absen, aku langsung menuju ruang kerjaku. Ruangan yang cukup luas untuk di huni oleh tiga orang. Iya, cuman tiga orang. Aku, dan dua orang rekan kerjaku. Elma dan Nephi.
“Bulan ini kamu udah dua kali telat.” Itulah kata-kata yang keluar dari bibir Elma.
“Kalo yang kemaren itu aku kan emang sengaja telat, lagi males ngantor.” Jawabku santai.
“Kalo pagi ini, males ngantor juga?” Elma menyelidik.
“Kalo males sih nggak juga, tapi di bilang semangat tinggi juga enggak.” Jawabku sambil menyalakan kompie.
“eh, Tama udah dateng.” Nephi baru saja masuk ke ruangan itu.
“Dari mana Nep? Di panggil bos?” Tanyaku.
“Yuhu, masak di panggil sama Satpam” Dia menjawab pertanyaanku sambil memperbaiki tatanan rambutnya. Tapi apa yang diperbaiki ya? Perasaan gak ada yang salah.
Dan begitulah keadaan kami bertiga sehari-hari. Bekerja sambil ngobrol ngalor ngidul. Ngobrolin apa aja yang bisa di certain. Kami bekerja di sebuah radio swasta. Posisiku sebagai music director, PR sekaligus penyiar. He…., kami bertiga semuanya merangkap sebagai penyiar. Nephi adalah dedengkot kreatif. Dia jadi produser di beberapa segmen acara radio kami. Sedangkan Elma, Dia ngurusin IT, sama ngurusin statistik. Pokoknya masalah Rating acara, itu yang paling tau si Elma.
*
“Aku mau ngemoll dulu, ada yang mau ikut?” Kata Nephi. Saat itu udah jam 16.30. Jam ngantor kami memang dari jam setengah delapan sampe setengah lima.
“Aku kan siaran jam lima Nona.” Elma segera menjawab.
“Oh iya, muuph aku lupa Bu.” Jawab Nephi.
“Kamu mau ngapain aja ntar?” Aku ikut nimbrung.
“Mau beli boneka, kata adekku, semalem dia ngeliat ada yang jual boneka sapi segede gaban. Lucu n imut katanya. Warna badan tuh boneka emang standar, item putih kayak sapi perah, tapi moncongnya pink.” Nephi antusias.
“Halah, boneka lagi. Kayaknya ruang boneka di rumahmu udah kayak kebun binatang deh.” Sahutku.
“Iya, pas terakhir kita ke rumahmu Neph, kalo gak salah itung, udah ada 23 boneka binatang deh.” Elma ikut-ikutan.
“Sekarang udah 29.” Jawab Nephi sambil nyengir.
“Ampunnnnnnnnnnnn… mendingan kamu tuh nraktirin aku tiap hari Neph, dari pada buang-buang duit buat beli boneka.” Elma kembali bicara.
“Yah, Kalo itu susah ya.” Nephi tersenyum. “Yuk ah capcus, ikut gak Tam?”
“Ikut ajalah. Eh, El… request lagu dunkz!” Kataku sambil melangkah menuju pintu.
“Run – Leona Lewis.” Elma tersenyum.
“Kok tau?” Aku heran.
“Yaelah ini anak. Tadi kan kamu udah bilang bung!” Elma geleng-geleng kepala.
“Kapan?” Aku coba mengingat-ingat.
“Pas kita makan siang tadi.” Elma memasang muka sok jengkel.
“Iya ya? Oke makasih bu, aku duluan.”
Aku langsung berjalan menuju tempat absen, Nephi udah gak ada disana, pasti dia dah nunggu di depan kantor, sambil berharap ada kupu-kupu yang menyambangi tanaman hias yang ada disana. Heran, kenapa ya dia tuh suka banget kalo ngeliat kupu-kupu.
*
“Neph, anterin nyari baby stuff ya.” Kataku pada Nephi.
“Jiah. Ni aku bawa bonekanya aja udah repot, lagian ngapain juga nyari perlengkapan bayi?” Jawab Nephi agak nggak setuju.
“Bentar aja.” Kataku.
“Oke. Tapi kamu yang bawain bonekaku.” Nephi nyoba bernego.
“Sip. Tapi pura-puranya ntar kamu yang lagi nyari perlengkapan bayi, aku cuman nganterin.” Rayuku.
“Buset dah, ujung-ujungnya aku yang kena.” Nephi geleng-geleng kepala dan menyodorkan boneka sapi itu padaku.
“Dah, gak usah protes.” Aku raih boneka itu.
“Mau beli apa emang?” Tanya Nephi.
“Kamu aja yang milih, aku gak ngerti, kamu kan dah punya beberapa ponakan, pasti ngerti.” Jawabku semangat.
“Aduh ni orang, bikin susah aja.” Kata Nephi sambil mendorong kepalaku dengan jari telunjuknya. “Oh. Buat temenmu yang tadi pagi itu?” Nephi mulai menggoda.
“Udah ah, tugasmu kan cuman milihin, gak usah banyak nanya. He….” Aku pukulkan kaki boneka sapi itu ke lengan Nephi.
“Eh, ada hombreng lagi ternak sapi.”
Suara itu tiba-tiba terdengar dari arah belakang kami. Lumayan keras untuk membuat aku dan Nephi menoleh. Dan sejurus kemudian, Aku lihat seorang cewek sedang berdiri berkacak pinggang memandang kami.
“Jadi sekarang bukan cuma hombreng tapi juga memperkosa sapi? Hahahaahahahahahaha”
Cewek itu begitu puas menikmati kata-katanya. Aku buru-buru meraih lengan Nephi, mengajaknya meninggalkan tempat itu. Nephi kelihatan bingung, tapi aku tidak peduli.
Kebetulan sekali ada taksi yang baru aja nurunin penumpang di depan Lobby Mall itu. Aku langsung memasukkan boneka sapi itu lewat pintu depan, dan aku sendiri segera masuk lewat pintu belakang. Tapi Nephi malah berdiri mematung, Dia nampak heran dan bingung.
“Buruan Neph .” Teriakku dari dalam.
“Katanya mau nyari perlengkapan bayi?” Tanya Nephi dengan muka masih bingung.
“Besok aja.” Jawabku.
Lalu Nephi berjalan menuju taksi itu, tapi dia tidak masuk.
“Kamu bawain aja tuh boneka, kamu anter langsung ke rumahku setelah ini, bilang aja aku yang nitipin.” Kata Nephi
“Loh, kamu mau kemana Neph?” Tanyaku malah jadi bingung.
“Aku belom mau pulang.” Setelah berkata seperti itu, Nephi masuk lagi ke dalam Mall
“Ke Seturan dulu pak, terus ke Babarsari.” Kataku pada sopir taksi. Dan taksi pun mulai melaju meninggalkan Mall itu
Sepanjang perjalanan, kata-kata cewek itu masih terngiang dalam telingaku. Hah! Hegar, Kenapa dia tiba-tiba muncul? Dia kan tipe gadis yang sangat membenci Mall. Dan tadi dia hanay sendirian. Sejak kapan dia suka pergi sendirian??????
**
“Ini udah sekalian aku bungkusin.” Nephi masuk ruangan dan langsung menuju mejaku.
“Apaan Neph? Aku heran.
“Prikitiw.”Dari ujung sana Elma sok ikut-ikutan nimbrung.
“Yang semalem mau kamu beli tapi gak jadi.” Kata Nephi sambil berjalan menuju mejanya. “Eh, semalem itu aku ketemu temenku di sana, jadi sampai jam delapan gitu baru cabut.”
“Bonekanya dapet?” Tanya Elma.
“Dapet, sekalian sama penggembalanya, nganterin sampe rumah he..” Nephi mulai bercanda.
“Ini berapa duit Neph?” Tanyaku.
“Itu notanya aku tempel diplastiknya kok.” Nephi menjawab sambil mengeluarkan sebuah buku dari tasnya.
“Eh, Bu ini ada buku bagus, kata temen ku sih. Tentang detektif cewek di jepang. Aku sih belom baca, cuman kata temen ku itu bagus. Ya udah aku beliin aja buat kamu, Jeng Elma.” kata Nephi .
“Ya udah, sini bawa ke sini.” Sahut Elma.
“Ye….. Ambil sendiri kesini bu.” Jawab Nephi.
“Oke.” Elma bangkit dan mendekati Nephi.
“Wew…. Aku belom pernah baca. Berapa duit Jeng?”
“Tu kan masih ada label harganya.” Jawab Nephi.
“oh, iya… ntar kalo bagus aku ganti duitmu, tapi kalo jelek, gak usah ngarep ya?” Elma berjalan untuk kembali ke mejanya.
Tlululutttttttttt tlululuttttttttt
“Selamat Pagi dengan Tama di sini.” Aku angkat telpon kantor yang bordering.
“Mas Tama, ada yang nyari nih, ditunggu di ruang tamu sekarang ya.” Suara Hasca, Front Officer di kantorku.
“Siapa Ca”’ Tanyaku.
“Dia gak mau nyebutin nama Mas, katanya temen Mas, dah janji mau ketemu hari ini.” Hasca menjelaskan.
“Hari ini? kayaknya aku gak ada janji, tar deh, suruh tunggu bentar ya, aku segera ke situ.” Kataku.
“Oke mas.” Tut. Telepon ditutup.
Aku menuju ruang tamu kantor. Di sana ada seorang cewek yang sedang duduk di sofa, Sendirian, Dia…….Hegar. Dia langsung melihatku begitu aku muncul dari tangga. Dia kemudian berdiri. Meski ragu, aku tetap melangkah untuk menemuinya. Dia tersenyum sinis.
“Selamat Pagi” Sapaku berusaha menampakkan sikap ramah.
Dia tidak menjawab.
PLAKKKKKKKKK!!!!!! Tanpa aku duga, tanganya mendarat di pipiku.
“Puas kamu, Tama hombreng.” Dia setengah berteriak. “Dasar hombreng.”
Aku hanya diam. Dengan sigap security kantor membawa cewek itu keluar. Sebelum meninggalkan ruang tamu, Aku sempat melihat Hasca berdiri melongo. Sepertinya dia menyaksikan semua kejadian tadi. Tapi sepertinya tidak ada keributan, berarti Hegar sukarela meninggalkan kantorku setelah dihalau oleh security tadi.
***
“Tammy, ntar sore nemenin aku maen basket ya!” Suara Ario di seberang sana.
“Ngapain?” Tanyaku.
“Ikut aja lah, aku udah beliin buku yang bagus buat kamu. Kalo kamu males liat basket nya, kamu baca buku aja. Gak apa-apa kok.” Kata Ario.
“Jam berapa?.” Tanyaku.
“Ntar aku jemput kamu jam empat kurang deh.” Ario menjawab.
“Oke.” Klik.
Sudah setengah tahun ini aku jadi dekat dengan Ario. Saat ini aku sudah semester satu di Program Diploma III Jurusan Komunikasi. Dan Ario, dia sudah menginjak semester tujuh. Kami beda kampus, tapi Kami sering menghabiskan waktu bersama.
*
Aku sudah siap dan menunggu Ario di teras kostku. Baru saja aku mau missed call dia ketika motornya berhenti di depan gerbang kostku.Dia tersenyum padaku, lalu aku segera berjalan ke arahnya.
“Hey Tammy, dah lama nunggu?” Sapanya.
“Baru aja kok, mau maen basket dimana emang?” Tanyaku.
“Udah ikut aja.” Jawabnya.
“Loh, kok gak di kasih tau sih, ntar mana aku bisa ngasih tau kamu kalo kita nyasar?” Aku berusaha memancing.
“Aku lebih seneng kalo aku sasarin kamu tapi kamunya gak nyadar.” Balasnya.
Aku memukul punggung Ario dengan lembut.
“Yah, gak kerasa. Niat nimpukin orang gak sih?” Protes Ario.
Aku hanya tersenyum. Dan kami pun berangkat.
***
“Sok imut banget sih megangin pip.” Kata Elma setelah aku kembali ke ruangan.
“Biarin!” Jawabku.
“Oh ya Tam, cewek yang semalem itu siapa sih?” Tiba-tiba Nephi bertanya.
“Cewek apaan sih?” Elma kelihataanya penasaran.
“Ah bukan siapa-siapa, kapan-kapan aku ceritain deh.” Aku kurang berminat menanggapinya.
***
“Gar, kamu beneran cinta sama aku?” Aku memandang Hegar yang tengah asik melihat bintang.
“Tama….” Hegar berpaling dan memandangiku.
“Kita udah pacaran dari kelas satu SMA kan. Apa itu nggak cukup buat ngebuktiin kesetiaanku ke kamu. Keluargaku udah ngenal kamu sama seperti aku mengenal kamu, begitu pula sebaliknya. Bulan depan kita udah mau tunangan. Lalu kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?” Hegar berkata sangat serius.
“Tapi aku ragu Gar.” Jawabku pelan.
“Kenapa kamu ragu. Aku tidak menuntutmu untuk buru-buru menikahiku. Kita masih semester dua, masih terlalu dini untuk membina rumah tangga.” Kata-kata Hegar begitu tenang.
“Apa kamu yakin aku masih mencintaimu Gar?” Aku memalingkan wajah.
Hegar terdiam.
“Jujur saja aku mulai ragu dengan semua ini. Aku ragu dengan perasaanku sendiri. Aku sama sekali tidak meragukan perasaanmu padaku Gar, kamu begitu tulus mencintaiku, begitu setia.” Aku melanjutkan kalimatku.
“Kamu masih ingat? Ketika itu, aku masih sepuluh tahun, dan berarti kamu masih sembilan tahun kan? Ketika keluarga kita bertemu, dan menjelaskan kepada kita bahwa sebenarnya mereka telah mengatur suatu perjodohan untuk kita. Saat itu, aku sama sekali tidak keberatan. Apalagi setelah kita memutuskan pacaran sejak kelas satu SMA. Aku sama sekali tidak keberatan. Ditambah lagi setelah orangtua ku wafat, aku semakin mantab untuk melaksanakan keinginan mereka.” Aku kini asik memandangi langit. Bukan menikmati indahnya taburan bintang yang ada disana, tapi pandanganku tembus sangat jauh, entah sampai kemana.
“Tapi semakin lama, aku kian tersiksa dengan perasaanku sendiri. Aku merasa tersiksa karena telah memberikan harapan yang terlalu besar untukmu. Aku saja awalnya tidak memahami perasaanku sendiri. Perasaan seperti ini. Tapi sejak awal aku tidak pernah benar-benar mencintaimu. Entahlah, tapi aku begitu menyayangimu.” Aku masih saja bicara tanpa mampu menoleh kepada Hegar. Dan Hegar pun tak berucap sepatah kata pun.
“Aku sadar bahwa aku tidak seperti orang kebanyakan. Aku ini lain. Dan aku merasakannya. Aku tidak bisa mencintaimu Gar. Tapi aku menyayangimu. Karena itu aku tidak ingin membohongimu lagi, aku tidak ingin menyakitimu lebih dalam lagi.”
Lirih aku dengar isakan tangis. Aku beranikan diri untuk menoleh. Dan aku lihat air mata telah berurai di pipi Hegar. Dia memandangku nanar. Lalu aku meraih Hegar dalam pelukanku. Aku rengkuh tubuhnya dan aku sandarkan kepalanya di dadaku.
“Maafkan aku Gar.” Suaraku lirih.
“Apakah ada orang lain Tama? Apakah aku mengecewakanmu? Apakah aku menyakitimu?” Suara Hegar yang bercampur dengan isakan tangis seakan mengiris telingaku.
“Aku nggak seperti yang kamu piker Gar.” Jawabku pelan.
“Aku sudah sangat mengenalmu Tama. Tidak ada orang lain yang lebih mengenal kamu dari pada aku.” Hegar masih terisak.
“Ada satu hal yang kamu tidak tau Gar, karena selama ini aku menyembunyikannya darimu.” Aku mencoba tenang.
Hegar mengusap air matanya dan memandang ke wajah ku dan berkata lirih.
“Jadi kamu membohongiku? Tentang apa? Kamu selingkuh?”
“Aku bukan hanya membohongimu, tapi juga menyiksamu dengan semua harapan-harapan itu, bahkan mungkin juga akan menyakiti keluarga kita nantinya.” Jawabku.
Hegar melepaskan pelukanku, dan aku melanjutkan penjelasanku.
“Aku tidak mencintaimu Gar, dan aku tidak mampu mencintai seorang wanita pun, dirimu dan wanita-wanita lainnya. Aku tidak dapat merasakan cinta seperti itu. Aku tau ini akan menyakitimu, tapi aku lebih tersiksa jika terus menerus memberikan kebahagiaan semu kepadamu.”
“Maksudmu Tama?” Hegar memandangku tajam.
“Aku adalah tidak seperti lelaki kebanyakan Gar. Aku mampu menyayangi wanita seperti kamu, tapi aku tidak mampu untuk mencintai.” Kataku lirih. “Kamu paham maksudku kan Gar?” Aku memandangi Hegar penuh harap.
“Kamu penyuka sesama jenis?” Aku melihat luapan kebencian tiba-tiba muncul di wajah Hegar.
Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba Hegar menangis dengan sangat histeris, lalu bergegas menyusuri jalan di taman itu dan masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya diam terpaku sebelum akhirnya aku putuskan untuk pulang.
***
Aku sedang membaca buku sambil bersandar ke tembok ruangan itu. Dan Ario sedang bermain gitar. Aku memang selalu serius kalo membaca buku, semua buku, baik buku bacaan maupun buku materi kuliah. Tapi tidak ketika Ario ada di dekatku, berkali-kali aku memandangi Ario. Mengaguminya, Memperhatikan gerak geriknya, Tingkah lakunya, Ekspresinya. Tapi tiba-tiba Ario merebut buku yang sedang aku baca.
“Udah dulu bacanya, Aku mau ngomong.” Ario udah duduk disampingku dan sekarang sedang memandangiku.
“Aku mau jujur sama kamu Tammy.” Katanya sambil tetap menatapku.
Aku hanya diam, menunggu dia melanjutkan kalimatnya.
“Aku rasa aku cinta sama kamu sejak aku pertama melihatmu di Les itu dan menurutku kamu juga merasakan hal yang sama.”
Aku masih diam. Perlahan Ario mendekatkan wajahnya kepadaku. Kami beradu pandang selama beberapa saat. Dan sejenak kemudian bibir kami telah beradu. Aku hanya diam, tidak menolak, Aku rasakan kehangatan bibirnya, Aku nikmati hembusan nafasnya. Merasa tidak mendapat perlawanan, Ario mulai memagut bibirku, Dan tanpa sadar aku meraih kepala Ario dan beberapa kali meremas rambutnya. Tapi beberapa detik kemudian aku mendorong tubuhnya dengan kasar.
“Kita nggak boleh kayak gini.” Kataku setengah marah.
“Maafin aku Tammy, Aku gak sengaja. Aku melihat kesungguhan di wajah Ario. Dia tampak bingung dan menyesal.
“Aku juga minta maaf.” Jawabku.
“Jangan pernah kita ulangi lagi, dan jangan pernah berpikir untuk lebih dari ini.” Kataku tegas.
Ario mengangguk, lalu tersenyum menggoda.
“Emang apa yang kamu pikirin? Dasar mesum hahaahahahahahaha.” Lalu dia bangkit dan meninggalkan ku.
Aku masih duduk terdiam di tempatku, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Selama ini kadang-kadang muncul pikiran nakalku untuk sekedar mengecup kening ataupun pipi Ario. Tapi tiba-tiba Ario melakukan hal yang tak pernah aku duga. Untung saja tidak ada orang lain yang melihat. Ario tinggal sendirian di rumah itu. Keluarganaya ada di Surabaya. Rumah ini dulunya disewakan oleh keluarga Ario, Tapi setelah Ario kuliah, Ario lah yang menempatinya. Hanya ada pembantu yang datang ketika akan bersih-bersih dan mencuci saja.
“Tammy, makan yuk. Tadi pagi Bi Marni aku minta masak.” Suara Ario dari arah dapur.
Aku bangkit dan menemui Ario
“Sebenarnya aku mau ngaku-ngaku kalo ini semua aku yang masak, tapi pasti akan ketauan sama kamu.” Kata Ario sambil menyiapkan makanan.
Aku hanya tersenyum dan mencubit lengan Ario.
***
Aku sedang berbaring di sofa ruang tamu rumahku, Sambil memutar mp3 lewat hape, dan melekatkan earphone di telingaku.
When you have to look away
When you don't have much to say
That's when I love you
I love you
Just that way
To hear you stumble when you speak
Or see you walk with two left feet
That's when I love you
I love you endlessly
Aku sedang menikmati suara Aslyn. That’s When I Love You, Lagu yang sangat aku sukai. Lagu yang dulu sering mengiringi hari-harikuku bersama Ario.
And when your mad cause you lost a game
Forget I'm waiting in the rain
Baby I love you
I love you anyway
Cause here's my promise made tonight
You can count on me for life
Cause that's when I love you
When nothing you do can change my mind
The more I learn the more I love
The more my heart can't get enough
That's when I love you
When I love you no matter what
Lagu ini masih mengalun di telingaku. Aku tidak tau harus tersenyum ataukah harus menangis saat ini. Aku begitu mencintai Ario. Aku begitu merindukan kehadirannya di dekatku. Tapi itu tidak mungkin terjadi lagi. Aku tak mungkin memperoleh semua keinginanku ini.
So when you turn to hide your eyes
Because the movie it made you cry
That's when I love you
I love you a little more each time
And when you can't quite match your clothes
Or when you laugh at your own jokes
That's when I love you
I love you more than you know
And when you forget that we had a date
That look that u give when you show up late
Baby I love you
I love you anyway
Aku pencet tombol stop. Aku tak sanggup mendengarkan lagu ini hingga selesai. Ada perasaaan, entah apa namanya itu, tapi sangat kuat menekan jiwaku, membuatku ingin berteriak, tapi aku juga ingin bungkam dan diam selamanya.
***
“Kamu ini aneh.” Kataku.
“Aneh kenapa?” Ario kelihatan heran.
“Pokoknya aneh.” Jawabku.
“Lalu kenapa kamu menyukai ku? Aku rasa aku gak ganteng-ganteng amat, aku nggak mungkin bisa membuat seorang lelaki normal tiba-tiba berubah orientasi ketika melihat wajahku.” Kata Ario.
“Makanya aku nggak pernah cemburu sama kamu, karena kamu susah laku he…..” Candaku.
Ario tersenyum dan mengacak-acak rambutku.
“Aku suka sekali memperhatikan gerak gerikmu, tingkahmu, cara berjalanmu, cara kamu tersenyum, tertawa. Aku sangat menyukaimu Iyo.” Kataku kemudian.
“Aku juga suka dengan gaya imutmu. Gayamu yang tenang dan sedikit misterius.” Jawab Ario
“Misterius?” Tanyaku.
“Iya, kamu tidak pernah mau bercerita tentang teman-temanmu, keluargamu, masa lalumu” Kata Ario sambil mengalungkan tangannya di belakang leherku. Lalu aku menyandarkan kepalaku di dadanya.
“Karena ketika aku bersama kamu, hanya ada aku dan kamu. Aku tau kita tak bisa begini selamanya. Makanya aku hanya ingin ada aku dan kamu saja.” Aku menjelaskan pada Ario.
“Aku tau.” Jawab Ario pelan “ Tapi apa kamu bahagia dengan semua ini?”
“Entah ini bahagia atau tidak, tapi aku begitu sedih jika kau sedang sibuk akan sesuatu dan melupakanku.” Jawabku
“Tammy…..” Kata Ario
“Kenapa?” tanyaku serius.
“Aku cinta kamu.”
***
Aku berjalan ke arah jendela. Lalu aku berdiri di dekat jendela itu dan memandang ke luar. Gerimis, Gerimis dari sejam yang lalu tidak berhenti juga.
Drtttt drtttt….
1, 2, 3
Not only you and me
Got one eighty degrees
And I'm caught in between
Count em
Dering Hape ku nyaring, Memperdengarkan suara Britney – 3. Aku tidak memperhatikan siapa yang menelpon. Langsung aku angkat.
“Halo.” Sapaku
“Tama, ini Jingga, aku pengen ngomong sama kamu. Kapan kita bisa ketemu? Ini penting.”
Orang yang di seberang menjawab.
*
“El, nanti pulangnya aku nebeng kamu ya sampe Muara Kapuas.” Kataku pada Elma.
“Boleh aja, eh kenapa gak sekalian kita bertiga kesana tar sore.” Jawab Elma.
“Aku ada janji mau ketemu seseorang, ada perlu.” Aku menjelaskan.
“Gak papa. Ntar kamu kalo ada urusan di urus aja, aku sama Elma mau makan kok, iya kan El.” Kata Nephi. Nephi mengangguk setuju.
“gitu ya? Trus jadinya aku nebeng mobil siapa dunkz!?” Tanyaku.
“Mobil si Elma lah, mobilku hari ini di bawa adikku.” Kata Nephi.
“ya udah, sekalian aja ajakin Si Hasca, ntar biar aku anterin sekalian dia pulangnya.” Kata Elma.
“Terus aku pulangnya gimana dunkz!?” kali ini Nephi yang bingung.
“Kamu ada urusan sampe jam berapa Tam?” Tanya Elma.
“Nggak tau juga, tapi aku udah bilang sama Pak Sholeh buat di jemput di Muara Kapuas.” Kataku.
“Ya udah,ntar aku ke kostan Hasca aja nungguin kamu selesei, kamu jemput aku di sana kalo dah mau pulang. Kata Nephi.
“Kalo gitu aku juga ikutan ke kost Hasca ah.” Kata Elma.
“Ye…. Ikut-ikutan aja.” Kata Nephi.
“Biarin.” Jawab Elma.
“Eh, Capcus yuk.” Ajak Nephi.
“Ini baru jam tiga, dodol, Belom setengah lima.” Kata Elma.
“Oh iya. Ya udah, aku bilangin si Hasca dulu.” Nephi berjalan meninggalkan mejanya.
*
Kami tiba di Muara Kapuas. Belom terlalu rame karena emang belom saatnya makan malam. Elma, Hasca dan Nephi langsung mencari tembat duduk. Aku memandang sekeliling, mencari seseorang. Dan di meja yang paling ujung , aku melihat Jingga. Aku lalu berjalan mendekat. Dan aku baru sadar. Jingga tidak sendirian, dia bersama Ibu Aning dan Pak Rivai, orang tua Hegar. Jingga adalah kakak Hegar yang paling tua. Tiba-tiba keringat dingin membasahi telapak tanganku. Kemarin-kemarin tiba-tiba Hegar muncul. Dan kali ini, keluarganya mencariku. Aku paksakan tersenyum kepada mereka walaupun sesungguhnya nyaliku ciut.
‘Selamat sore Pak, Ibu, Jingga.” Aku sapa mereka sambil berjabat tangan.
“Gimana kabarnya nak Tama?” Tanya Pak Rivai setelah aku duduk.
“Baik Pak, Bapak dan keluarga baik juga kan?” Aku balas bertanya.
“Ya gini-gini aja mas Tama. Gak ada yang berubah, selain uban si Bapak.” Bu Aning tersenyum kepada Pak Rivai. Dan Pak Rivai juga tersenyum tanda tak keberatan masalah ubannya disinggung-singung, karena memang telah Nampak jelas.
“Sudah lama banget kita nggak ketemu kayak gini ya Tam.” Kata Jingga.
Aku hanya tersenyum menganggukan kepala.
“Sebelumnya kami minta maaf kalau menganggu aktifitas nak Tama hari ini. Tapi kami rasa hal ini penting untuk dibicarakan dengan nak Tama.” Kata Pak Rivai.
“Iya mas Tama, sebenarnya sudah agak lama kami ingin menemui mas Tama, tapi kata Jingga suruh mencari saat yang tepat dulu, takut merepotkan Mas Tama.” Sambung Bu Aning.
“Jadi begini nak Tama, kami ingin membicarakan tentang anak kami Hegar. Mohon maaf lagi ini lho Nak Tama, bukannya kami ingin membawa nak Tama dalam urusan keluarga kami, tapi kami rasa ini ada hubungannya dengan Nak Tama.” Lanjut Pak Rivai.
“Kami harap kamu nggak keberatan Tam.” Kata Jingga.
Tiga orang itu menatapku. Aku masih terdiam. Mencoba mencerna kata-kata mereka. Sekilas bayangan Hegar muncul dalam ingatanku.
“Apa yang bisa saya bantu? Setau saya, saya hanya bisa menyakiti Hegar, nggak lebih.” Kataku.
“Begini nak Tama, kami tidak ingin tau atau membahas masalah Nak Tama memutuskan perjodohan terhadap keluarga kami. Apa alasan Nak Tama melakukan itu semua, adalah masalah Nak Tama sendiri. kami tidak ingin tau ataupun ikut campur. Hegar pun tidak pernah berterus terang kepada kami. Hegar hanya selalu menghujat dan memaki Nak Tama dengan sebutan Homo, nggak normal dan sebutan-sebutan lain yang saya sendiri tidak nyaman mendengarnya. Tapi kami tidak pernah menuduh apapun terhadap Nak Tama.” Kata Pak Rivai
“Awalnya kami memang marah pada Mas Tama karena tidak pernah datang atau menemui kami secara langsung untuk memutuskan perjodohan dan pertunangan yang telah dipersiapkan dengan sangat matang. Tapi akhirnya kami memaklumi hal itu. Mungkin Mas Tama sedang menghadapi masalah yang begitu berat yang kami sendiri mungkin tidak dapat membantu.” Kata Bu Aning
Aku belum bisa menangkap apa maksud mereka. Dan sepertinya jingga paham dengan hal ini
“Gini aja Tam, intinya kami ingin meminta bantuanmu. Sejak putus denganmu, Hegar jadi sangat berubah. Dia beberapa kali ganti pacar, bahkan dia tidak segan untuk berselingkuh dan memiliki pacar lebih dari satu pada saat yang bersamaan. Tapi dia tidak pernah serius. Dia selalu membuat para laki-laki itu menjadi patah hati. Perangai Hegar juga berubah, semakin lama dia jadi makin sensitif, pemarah dan galak. Kami hanya menyimpulkan bahwa semua itu karena Hegar kecewa sama kamu, dan sampai saat ini dia masih marah atau juga mungkin ingin kamu kembali padanya.” Terang Jingga.
“Maaf nak Tama, bukannya kami ingin Nak Tama untuk kembali menjalin hubungan dengan Hegar. Kami tidak ingin memaksakan kehendak.” Kata Pak Rivai.
“Ini kami berikan nomor telepon dan alamat kontrakan serta alamat tempat Hegar bekerja.” Bu Aning menyodorkan selembar kertas padaku.
“Sekarang kami mau pamit dulu Mas Tama.” Lanjut Bu Aning.
“Iya Tam, kami tadi udah selesai makan kok. Nggak usah terlalu terburu-buru. Tapi kami harap kamu dapat membantu.” Kata Jingga.
Aku tak mampu memberikan jawaban ataupun harapan kepada mereka. Pikiranku begitu kalut.
Setelah mereka semua pergi, Aku menuju meja Elma, Hasca dan Nephi. Tapi ternyata mereka sudah selesei makan dan siap-siap mau pulang.
“Yah, Mas, kita dah selesei makan, tapi belom bayar nih, kalo mas mau ngebayarin kita-kita kayaknya gak ada salahnya deh.” Kata Hasca.
“Aku aja belom sempat makan.” Gerutuku.
*
Aku pandangi kertas itu. Aku baca apa yang tertera disana. Hmmmm, dia ganti nomor ternyata. Nomor yang sangat biasa, nggak cantik sama sekali. Aku baca alamatnya, Rasanya tidak susah untuk menemukan alamat itu. Tapi, aku belum tau kapan akan menemui atau sekedar menghubungi Hegar. Aku belum siap, atau aku tidak berani? Aku takut!
Drtttt drtttt…. Hancur hancur hancur hatiku hatiku hancur
Aku meraih hapeku. Dari Nephi
“Tam, ni aku lagi di toko perlengkapan baby, mau nitip lagi nggak?”
Aku langsung teringat dengan perlengkapan baby yang dibeliin Nephi waktu itu. Aku tutup sms itu tanpa membalasnya. Aku malah menghubungi seseorang, Ario.
“Kenapa TamTam?” Ario mengangkat teleponku.
“Nggak apa-apa.” Jawabku bingung.
“Terus, kenapa telpon aku? Kamu kangen?” Ario mulai menggoda.
“Buat apa aku kangen sama suami orang.“ Balasku sengit.
“Loh, nggak ada salahnya kan, cuman kangen aja kok.” Kata Ario.
“Pasti kamu kan yang kangen sama aku?” tanyaku.
“Iya.” Jawab Ario jujur.
‘Iyo, kita udah sering membahas ini. Sekarang keadaanya sudah sangat berbeda. Jangan kau siksa Lia dengan semua sikapmu.” Aku berkata serius.
“Aku tau. Tapi kenangan tentangmu masih melekat dalam jiwaku TamTam. Aku nggak bisa begitu aja berubah. Walaupun sudah hampir setahun, tapi…”
Aku memotong perkataan Ario “Lia udah dibawa pulang ke rumah?”
“Udah. Kenapa?” Kata Ario.
Hari minggu aku ke sana ya.” Pintaku.
“Perlu aku jemput nggak?” Tanya Ario.
“Nggak usah.” Jawabku.
***
“Iyo……” Aku segera mengangkat telepon itu.
“Kamu udah selesei kuliahnya?” Tanya Ario.
“Udah, udah selesei sekitar setengah jam yang lalu. Kenapa?” Jawabku.
“Aku mau jemput kamu tapi malah hujan deres banget. Ini aku aja berteduh di depan Mirota Babarsari.” kata Ario
“Di sini juga hujan, aku lagi di Kopma. Kalo gitu aku ke situ aja ya.” Pintaku.
“Aku kan mau jemput kamu.” Kata Ario.
“Tapi aku jadi pengen buru-buru ketemu kamu. Aku naik taksi dari sini. Kamu tunggu di situ.” Kataku.
“Oke deh, aku tunggu kamu. Akhirnya Ario mengalah.
*
“Aku pulang sekarang ya.” Ario meraih helmnya.
“Kok udah mau pulang sih?” Rengekku.
“Aku udah di sini dari tadi jam lima sore kali, sekarang udah hampir jam sepuluh malem.” kata Ario.
“Iya sih.” Jawabku.
“Tadi jam delapan aku mau pulang kamu juga gini.” Kata Ario. Dia meraih kepalaku lalu mengacak-acak rambutku.
“Besok aku anterin kamu kuliah deh. Aku cuman kuliah sore kok.” Lanjut Ario. Lalu dia berjalan meninggalkanku.
Aku bangkit. “Nih, jaketnya ntar ketinggalan, di luar dingin.” Aku menyerah dan merelakan Ario pulang.
“Tengkyu Tammy buruan bobo’ sana.” Kata Ario. Dana ku tersenyum.
***
*
“Kamu kuliah jam 9 kan hari ini?” Tanya Ario melalui telpon.
“Iya.” Kataku.
“Aku jemput kamu sebelum jam delapan, kita cari sarapan dulu.” Kata Ario.
“Mau sarapan dimana?” Tanyaku.
“Nggak tau.“ Jawab Ario “Kita jalan aja dulu.”
“Iya deh, Aku ikut aja. Kamu udah mandi?” Tanyaku kemudian.
“Belum.” Jawab Ario jujur.
“Ih, tega banget sih, nelpon aku tapi belom mandi.” Aku berkata manja.
“Loh, kamu kan yang sering bilang, biarpun baru bangun tidur dan belum mandi, tapi di matamu aku tetep ganteng.” Jawab Ario menggodaku.
“Emang iya. Tapi sekarang kan aku gak bisa liat kamu. Buruan mandi ah, ini kan udah jam tujuh.” Perintahku
“Hehe….. Aku sengaja pengen denger kamu nyuruh aku mandi.” Jawab Ario.
***
Setelah meeting selesai Aku langsung masuk ke ruang kerjaku. Nephi dan Elma nggak tau kemana dulu kok belom ke ruangan. Aku mengeluarkan kertas yang diberikan Ibu Aning dari tas ku, tapi entah kenapa aku belom berminat untuk menghubungi Hegar.
“Eh Tama, habis meeting malah ngelamun. Gimana Negara ini bisa maju kalo orang-orangnya kayak gini hahahahahahaa.” Elma masuk ke ruangan.
“nggak gimana-gimanalah, majunya nggak bisa sekarang pastinya. Loh kok nggak sama Nephi?’ kataku.
“Loh, kirain dia dah kesini.” Jawab Elma.
“Eh ada yang ngomongin aku ya?” Tiba-Tiba Nephi muncul.
“Ih, ge er. Kemana aja Bu?” Tanya Elma.
“Ke toilet, emang kenapa?” kata Nephi.
“Nggak apa-apa sih.” Jawab Elma.
Mereka kemudian sudah sibuk dengan kerjaan masing-masing. Sedangkan aku, aku pura-pura sibuk. Padahal pikiranku kalut. Kalut karena Hegar? Bukan. Entah kenapa Hegar tidak terlalu menyita pikiranku saat ini. Meskipun dengan kemunculannya, dengan makian-makiannya, dengan tamparannya, dengan pesan keluarganya. Mungkin aku terlalu jahat memang, terlalu egois.
*
“Aku anter kamu pulang ya.” Kata Ario setelah aku pamit ke Lia.
“Ah nggak usah, ntar kalo Lia butuh apa-apa kan repot.” Aku berusaha menolak.
“nggak apa-apa Tam, nanti sekalian Ario beli beberapa barang kok. Lagian ka nada Ibu juga disini.” Kata Lia.
“Iya. Aku anter kamu aja.” Kata Ario sedikit memaksa karena takut aku akan tetap menolak.
“Ya udah deh, nggak apa-apa.” Kataku akhirnya.
*
Setelah sampai di rumah, aku persilahkan Ario untuk masuk. Dan kami mengobrol di ruang tamu.
“Kamu gimana sekarang Tam?” Tanya Ario serius.
“Gimana apanya?” Tanyaku.
“Kamu ini, suka banget balik nanya kalo lagi ditanyain.” Kata Ario dengan muka cemberut yang dibuat-buat. Lalu dia menjulurkan tangannya ingin mengacak-acak rambutku.
“Iyo, Nggaka usah.” Aku tahan tangan Ario.
“Kamu kenapa Tam?” Kata Ario sambil melepaskan tangannya dari peganganku.
“Nggak apa-apa Iyo. Kita udah nggak kayak dulu lagi, ato tepatnya nggak bisa kayak dulu lagi. Kataku pelan.
“Kamu udah punya keluarga, udah punya istri dan anak. Kamu nggak boleh menghianati mereka. Kamu sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Dan aku sudah berusaha merelakanmu. Walaupun itu sangat sulit bagi kita. Dan terutama itu sangat sulit untukku. Tapi inilah yang kita pilih.” Lanjutku.
“Tapi kamu masih cinta aku kan Tam?” Tanya Ario.
“Untuk saat ini masih, tapi nggak tau nanti, nggak tau besok, nggak tau ke depannya.” Jawabku dengan jujur.
“Okelah TamTam, aku punya tanggung jawab yang besar saat ini. Mungkin aku harus menghilang dari hidupmu selamanya.” Jawab Ario parau.
“Nggak ada gunanya kamu menghilang, karena kemanapun dan sejauh apapun kamu menghilang, jiwaku, hatiku, masih memenjarakanmu.” Jawabku lirih.
“Kita jalani sesuai komitmen kita aja Tam, kita berteman, tapi tidak ada masa lalu diantara kita.” Jawab Ario.
Aku mengangguk. Aku buang pandanganku kearah pintu yang terbuka. Menerawang jauh entah kemana.
“Aku pulang dulu Tam.” Kata Ario sambil menepuk pundakku lembut.
Aku tak menjawab. Bahkan aku tak mengantarnya keluar dari rumahku. Aku diam duduk ditempatku semula.